top of page

Perempuan dan Konstruksi Tradisional Masyarakat Jawa

  • Gambar penulis: museumpergerakanwa
    museumpergerakanwa
  • 15 Okt 2024
  • 4 menit membaca



Masyarakat sebagai institusi sosial kerap menjadi alat dalam diskriminasi. Konstruksi yang terbangun sejak lama menjadi landasan awal kokohnya aturan itu, bahkan ketika individu sudah terbelenggu di dalamnya dan ingin mengubahnya, secara alamiah itu akan runtuh melalui sistem. 


Mulai dari tanah terkecil perempuan sudah dikondisikan sedemikian rupa. 


Perempuan hanya di rumah

Perempuan sebagai pemimpin urusan rumah tangga

Dialektika ibu rumah tangga

Perempuan kelompok yang lemah


Simbolisasi diatas bahkan sudah terbentuk sejak lama. Tidak hanya negara-negara ketiga, negara-negara maju pun mengalami hal serupa. 


Konstruksi Patriarki Negara Maju

Negara maju di Eropa, seringkali menjadi kiblat atas peradaban dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ketika di runtut lebih jauh konstruksi patriarki juga terjadi di benua biru. 


Bentuk konstruksi itu sudah ada bahkan dalam ranah kepercayaan. Wilayah yang berbasis paganisme ini, nyatanya juga merendahkan perempuan. 


Bentuk reduksi perempuan terlihat atas dominasi laki-laki pada unsur Ketuhanan. Peneguhan atas Dewa sebagai kelompok tertinggi, memberikan supremasi bahwa laki-laki yang berkuasa bahkan pada unsur spiritual. 


Tidak berhenti disitu, identitas perempuan yang diartikan sebagai penyihir ketika mereka kritis, juga memperkeras simbolisasi yang dibangun. Para penguasa dengan membabi buta menekan para perempuan dengan kejadian memilukan. Mereka terpaksa merasakan penyiksaan hingga titik darah habis di tengah masyarakat.


Perempuan yang melihatnya hanya dapat termangu, menangis, tanpa bisa berbuat apa-apa. Gerakan ini terus dipertahankan hingga sendi-sendi feminisme mulai terbangun. 


Lalu bagaimana dengan Indonesia utamanya masyarakat Jawa? 


Konstruksi Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa telah lama terbangun atas nilai-nilai feodal. Kekuatan sendi ini dilihat atas beragamnya kerajaan yang terbangun, hingga hierarkis bahasa yang digunakan. 


Salah satu puncak feodalisme masyarakat Jawa, berasal dari lingkungan Mataram. 


Kekuasaan yang mulai terbangun sejak masa Panembahan Senopati ini, telah membentuk kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai lapisan. 


Institusi itu tidak hanya meraup keuntungan belaka, sebagaimana kerajaan pada umumnya. Akan tetapi, mereka juga membentuk satu nilai baru, sebagai pemisah antara mereka dengan rakyat biasa. Bahasa. 


Sebelum lahir bahasa Jawa seperti saat ini, bahasa Jawa hanya mengenal satu pakem, yakni bahasa Ngapak


Aturan bahasa ini tidak serumit seperti dialek Mataraman yang lahir pada masa pujangga baru. 


Pengaturan tata bahasa ini dilakukan dengan hierarkis yang rumit. Agar memberikan supremasi kepada penguasa. Mereka (penguasa) tidak ingin stratanya tercampur atau serupa dengan rakyat secara luas. Bagi penguasa feodal, dengan memberikan gap kepada rakyat memudahkan kendali atas sosial-masyarakat.


Secara umum bahasa Jawa baru terdiri dari tingkatan, yakni: kromo, madya, dan ngoko. Semakin kecil umurnya atau semakin rendah ‘kastanya’ -maka bahasa yang digunakan harus semakin tinggi kromo -ketika berbicara kepada ‘mereka’ yang diatas.


Hal ini berbanding terbalik dengan mereka yang berasal dari atas. Mereka dengan sadar keluar dari batas-batas hierarkis yang rumit itu.Hal ini telah memberikan segregasi kepada kalangan bawah tidak terkecuali perempuan. 


Bagi perempuan mereka mengalami tekanan ganda. Dalam masyarakat Jawa, perempuan hanya menjadi kekuatan pendukung laki-laki. Mereka selalu ditempatkan di belakang saat acara-acara berlangsung.


Hal ini terus dibangun hingga kini. Pada acara-acara besar, perempuan menjadi kelompok yang mengurus dapur. Mereka secara sadar masih berada di tempat itu -tanpa banyak yang terlihat ketika acara besar itu dimulai.


Selain dibentuk oleh nilai-nilai Mataram, konstruksi perempuan Jawa dipengaruhi oleh rezim Orde Baru. 


Pengembalian perempuan ke kandang (rumah), memaksa gerakan feminis gelombang dua terasa sia-sia. Kehadiran perempuan pada gerakan negara, telah dinilai negatif oleh “Bapak Yayasan ini” -julukan Soeharto, oleh Muhidin M. Dahlan.


Pengembalian dan dipaksa sibuk atas urusan-urusan domestik. Telah membentuk dikotomi kesadaran oleh sebagian perempuan. Mereka terasa menikmati atas situasi itu, sebagai bagian institusi negara.


Kegemaran perempuan dalam urusan domestik, salah satunya dilancarkan oleh “ibuisme” -era Soeharto. Konsep ibuisme merupakan bentuk pengabdian secara sadar oleh perempuan kepada negara, tanpa memperoleh dan mengharapkan imbalan.


Paham ibuisme diartikan lebih jauh dalam Dharma Wanita. Lima pedoman dasar Dharma Wanita diantaranya:

1.      Wanita diposisikan sebagai pendamping suami;

2.      Wanita sebagai ibu rumah tangga;

3.      Wanita sebagai penerus keturunan serta pendidik awal bagi anak;

4.      Wanita sebagai entitas pencari penghasilan tambahan;

5.      Wanita sebagai anggota masyarakat dan warga negara.


Penegasan penghambaan atas nilai-nilai maskulin, telah merelakan perempuan dalam kerja-kerja pengabdian. Mereka seakan tidak memiliki kuasa atas urusan negara, tetapi tergantikan dengan kuasa penuh atas urusan rumah tangga.


Perempuan dan Praktek Penerimaan

Selain beban atas kerja-kerja domestik, perempuan juga dituntut atas pengabdian pada masyarakat maupun negara. Terlepas adanya ibuisme atau tidak, konstruksi ini seakan menjadi pakem bagi perempuan.


Mereka secara sadar ataupun tidak menjadi tenaga-tenaga murah bahkan percuma, atas kerja-kerja sosial atau negara.


Perempuan harus mau

Perempuan tidak ada pekerjaan

Perempuan hanya dirumah


Perempuan seakan “berdaya” -ditengah ketidakberdayaan menolak memainkan peran ganda itu. 


Akibatnya mereka terkonstruksi untuk menerima atas penderitaan yang didapat. 


Mikul dhuwur mendhem jero


Falsafah yang mengantarkan emosi yang kerap meledak, tanpa dapat dikendalikan oleh perempuan. Mereka terpaksa menerima meskipun dalam keadaan sulit. 


Inilah kenyataan pahit yang diterima perempuan. Mereka diharuskan menerima tanpa banyak berkata ‘tidak’ atau ‘iya’, -atas pilihan yang ada.


Akibatnya banyak perempuan Jawa tidak sanggup keluar atas kekerasan yang menimpanya. Dengan dalih harga diri dan keluarga, mereka sekali lagi menerima pil pahit atas realitas budaya.


Falsafah ini pula yang semakin menguatkan daya patriarkis masyarakat. Mereka dengan mudah semena-mena menekan peran perempuan -tanpa perlu memikirkan akibat yang ditimbulkan.


Sehingga fenomena ini mengantarkan praktek penekanan perempuan terus terjadi, tanpa memikirkan psikis dan  kesehatan mental.


Inilah kenyataan yang dihadapi perempuan. Inilah budaya yang dialamatkan pada perempuan. Dan inilah harga yang harus dibayar atas konstruksi itu.


Daftar Pustaka:

Isabella, B. (2023). MengasahAsuh: Kumpulan Tulisan Ibu-Pekerja Migran dari Indonesia. Yogyakarta: Copy Station.

Jatman, D. (1999). Politik Jawa Dan Presiden Perempuan. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

Sulastri. (2019). Falsafah Hidup Perempuan Jawa. Sanjiwani: Jurnal Filsafat, 10(1), 91-100.


Penulis: Wisnu Yogi Firdaus


 
 
 

コメント


Post: Blog2_Post

©2022 by Museum Pergerakan Wanita. Proudly created with Wix.com

bottom of page