top of page

“Kongres Perempuan Indonesia yang Kedua"

  • Gambar penulis: museumpergerakanwa
    museumpergerakanwa
  • 6 Jan 2024
  • 2 menit membaca

 

Pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia II yang dilaksanakan pada tanggal 20-24 Juli 1935 di Jakarta

 

Pada tanggal 22 Desember 1928 telah didirikannya badan federasi bernama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) atau Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII) sebagai hasil dari diadakannya Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta. Namun, beberapa organisasi wanita belum tergabung secara menyeluruh ke badan federasi tersebut, sehingga muncul suatu gagasan berupa mengadakan lanjutan dari kongres pertama yaitu pengadaan Kongres Perempuan Indonesia II yang dilaksanakan pada tanggal 20-24 Juli 1935 di Jakarta. Pemimpin dari pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia II adalah Ny. Sri Mangunsarkoro bersama Ny. Sh. Suparto dengan tujuan merapatkan tali persaudaraan antar organisasi wanita Indonesia sebagai bentuk upaya memperbaiki nasib kaum wanita dan rakyat Indonesia. 

Pelaksanaan Kongres Perempuan Indonesia II ini membahas secara mendalam terkait beberapa permasalahan yang terjadi di Indonesia pada masa itu, diantaranya mengenai perburuhan, usaha pemberantasan buta huruf dan pemberantasan perdagangan perempuan dan anak-anak. Beberapa permasalahan yang cukup kompleks tersebut dibahas secara mendalam dalam kongres kedua demi memperbaiki nasib perempuan, anak-anak, dan masyarakat Indonesia. 

setelah dilaksanakan selama kurang lebih lima hari, Kongres Perempuan Indonesia menghasilkan beberapa solusi dan gagasan dalam beberapa poin, yaitu:

  1. Didirikannya badan perikatan bernama Kongres Perempuan Indonesia (KPI) sebagai pengganti dari dibubarkannya PPPI/PPII pada bulan september 1935.

  2. Mengenai masalah perburuhan mendapat atensi lebih besar dalam kongres tersebut, hingga dibentuknya Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan Indonesia (BPPPI) guna melakukan penyelidikan dan pengawasan terhadap seluruh buruh wanita melalui penyebaran angket masal (massale enquete). 

  3. Permasalahan buta huruf diberantas melalui pembentukan “Biro Pendaftaran” (Registrasi Bureau) yang nantinya akan menetapkan target usaha pemberantasan buta huruf, sehingga target dapat dicapai dalam jangka waktu tertentu. Selain itu, mereka juga bertugas untuk menyusun peraturan pelaksanaan pemberantasan buta huruf. 

  4. Dalam permasalahan perdagangan perempuan dan anak-anak mengacu pada praktek penjualan anak gadis kepada “Cina Mindering” sebagai bentuk hutang dengan bunga yang tinggi, pihak Kongres Perempuan Indonesia II pun berusaha melakukan pemberantasan dengan didirikannya komite Perkumpulan Pembasmian Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (PPPPA) yang melakukan beberapa kegiatan, berupa penyuluhan, pemberian bantuan, pembuatan rumah-rumah perlindungan bagi korban, pemantauan, dan lain sebagainya. 





Segala upaya yang telah dilaksanakan tersebut memiliki harapan yang besar agar nantinya nasib dan derajat perempuan, anak-anak, dan bahkan seluruh masyarakat Indonesia menjadi lebih baik. Upaya-upaya tersebut juga telah menjadi awal perjuangan untuk memberikan keadilan dan kenyamanan bagi perempuan. [Ema Rohmawati, Senin (9/10/2023) - Yogyakarta]

 

REFERENSI:

Firdianingsih, Indah. Kongres perempuan Indonesia II 20-24 Juli di Jakarta. Skripsi, 2009. Kongres perempuan Indonesia II 20-24 Juli di Jakarta, Universitas Indonesia, URI: https://lib.ui.ac.id/detail?id=127367&lokasi=lokal#parentHorizontalTab3.

 

Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia. Pertama ed., Jakarta, PN Balai Pustaka, 1978.


 

 
 
 

Comments


Post: Blog2_Post

©2022 by Museum Pergerakan Wanita. Proudly created with Wix.com

bottom of page